Pemberitahuan Pengembalian Sisa Panjar Kepada : Nama Pihak : ANDRIAS PURNOMO RAHARDJO Nomor: 1026/Pdt.G/2024/PN Sby

SISA PANJAR 1026PDTG ANDRIAS
=========================================================================================================================

Pemberitahuan Pengambilan Sisa Panjar Perkara Nomor: 1026/Pdt.G/2024/PN Sby dengan keterangan sebagai berikut:
– Status Pengiriman: Retur
– Alasan Retur: Pihak Penerima tidak tinggal di alamat yang dituju sesuai keterangan lurah/kepala desa termasuk aparat kelurahan/desa.

Berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2023 Tentang Tata Cara Panggilan Dan Pemberitahuan Melalui Surat Tercatat angka 9 dan 10, selanjutnya Pemberitahuan ini diberitahukan dengan mekanisme Panggilan Umum.

PEREMPUAN, ANAK, KEKERASAN SEKSUAL, DAN HUKUM Oleh: Satyawati Yun Irianti, S.H., M.Hum

PEREMPUAN, ANAK, KEKERASAN SEKSUAL, DAN HUKUM
Oleh: Satyawati Yun Irianti, S.H., M.Hum
Hakim Pengadilan Negeri Surabaya

PENDAHULUAN

Perempuan dan anak rentan terhadap kekerasan seksual. Lantas, apakah laki-laki (dewasa) aman dari kekerasan seksual? Dari hasil penelitian, laki-laki juga tidak aman dari kekerasan seksual, namun dibandingkan dengan yang dialami perempuan dan anak jumlahnya berbanding sangat signifikan. Berikut dikutip dari hasil penelitian Kompas:
Statistik Jumlah Kekerasan Seksual(Dikutip dari Power Point Frans Sinuraya, S.H., M.H., Strategi Penyelesaian Perkara Kekerasan Seksual, 12 April 2025)

Dari data di atas, terlihat perempuan dan laki-laki sama-sama tidak aman dari kekerasan seksual. Negara telah melindungi warganya dengan instrumen Undang-Undang. Namun, mengapa jumlah kejahatan tersebut masih terlihat begitu besar dibandingkan dengan yang diajukan ke pengadilan, khususnya perkara kekerasan seksual terhadap Perempuan dan anak.

Pengertian kekerasan seksual berdasarkan UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, Pasal 1 berbunyi: Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur tindak pidana sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini dan perbuatan kekerasan seksual lainnya sebagaimana diatur dalam Undang-Undang sepanjang ditentukan dalam Undang-Undang ini.

Apakah jenis-jenis TPKS menurut UU TPKS?

Berdasarkan Pasal 4 ayat (1) Tindak Pidana Kekerasan Seksual terdiri atas: pelecehan seksual nonfisik, pelecehan seksual fisik, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan sterilisasi, pemaksaan perkawinan, penyiksaan seksual, eksploitasi seksual, perbudakan seksual, dan kekerasan seksual berbasis elektronik.

Ayat (2) Selain Tindak Pidana Kekerasan Seksual sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Tindak Pidana Kekerasan Seksual juga meliputi: perkosaan, perbuatan cabul, persetubuhan terhadap Anak, perbuatan cabul terhadap Anak, dan/atau eksploitasi seksual terhadap Anak, perbuatan melanggar kesusilaan yang bertentangan dengan kehendak Korban, pornografi yang melibatkan Anak atau pornografi yang secara eksplisit memuat kekerasan dan eksploitasi seksual, pemaksaan pelacuran, tindak pidana perdagangan orang yang ditujukan untuk eksploitasi seksual, kekerasan seksual dalam lingkup rumah tangga; tindak pidana pencucian uang yang tindak pidana asalnya merupakan Tindak Pidana Kekerasan Seksual, dan tindak pidana lain yang dinyatakan secara tegas Sebagai Tindak Pidana Kekerasan Seksual sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.

Undang-Undang TPKS dan peraturan lainnya merupakan wujud dari kewajiban Negara untuk hadir memberikan perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di depan hukum, sebagaimana dicantumkan dalam Pasal 28 huruf D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945. Dalam pasal tersebut terkandung amanah, Perempuan dan Anak yang merupakan kelompok rentan harus mendapat perlakuan yang sama atas akses keadilan, dan hal tersebut merupakan salah satu tugas terpenting dan terberat bagi peradilan.

Instrumen hukum pidana yang melindungi kaum perempuan dan anak tidak hanya mengenai pembalasan (retributive) terhadap pelakunya, namun juga mengatur tentang pembentukan unit atau lembaga yang khusus menangani kasus-kasus kekerasan, pendampingan korban, pemulihan korban, ganti rugi korban, pemberian edukasi dan mengkampanyekan partisipasi Masyarakat guna “awas” terhadap lingkungan sebagai upaya penangggulangan tindak kejahatan, serta mengingatkan para Penegak Hukum agar bersikap bijaksana dalam menangani kelompok rentan tersebut. Instrumen tersebut mulai dari peraturan lembaga hingga Undang-Undang, contohnya Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 3 Tahun 2001 tentang Perkara-perkara Hukum Perlu Perhatian Pengadilan (korupsi, narkoba, hutang – piutang negara, pencurian di laut, dan kejahatan kehutanan yang nyata merugikan keuangan negara dan rakyat, dan perkosaan), SEMA Nomor 1 Tahun 2017 mengenai perdamaian dalam tindak pidana anak dan orang dewasa tetapi korbannya Anak dan pengecualiannya, SEMA Nomor 5 Tahun 2021 mengenai acara persidangan KDRT yang mengandung muatan kekerasan seksual, Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan Dengan Hukum (PBH), Perma Nomor 1 Tahun 2022 tentang Tata Cara Penyelesaian Permohonan dan Pemberian Restitusi dan Kompensasi Kepada Korban Tindak Pidana, UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang, UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, UU Nomor 35 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), dan pasal-pasal yang tersebar dalam KUHP yang mengancam bagi pelaku tindak pidana kekerasan seksual terhadap Perempuan dan anak yaitu Pasal 285 hingga Pasal 299 KUHP, dalam KUHP Nasional tindak pidana kejahatan seksual terdapat di dalam bab mengenai tindak pidana kesusilaan yaitu dalam Bab XV, termasuk hidup bersama yang bukan suami isteri.

Undang-Undang telah mengatur sedemikian lengkapnya, namun kekerasan seksual dengan berbagai modus dan bentuknya selalu ada dan yang terungkap hanyalah sebagian saja sebagaimana fenomena gunung es.

Dari hasil penelitian, faktor-faktor seperti ekonomi, pendidikan, sosial budaya, dan psikologis adalah penyebab utama tindak pidana kekerasan. Faktor ekonomi, seperti ketidakstabilan keuangan dan kemiskinan, seringkali menjadi penyebab kekerasan dalam rumah tangga. Pendidikan, atau kurangnya pengetahuan tentang hak-hak perempuan dan anak, juga sering menjadi penyebab tingginya tingkat kekerasan. Selain itu, norma sosial dan budaya yang menganggap perempuan dan anak sebagai subordinat seringkali memperburuk keadaan. Terjadinya tindak kekerasan juga dipengaruhi oleh faktor psikologis, seperti trauma masa lalu pelaku dan gangguan mental.[1]

Kurangnya akses terhadap pendidikan dan informasi juga membuat korban sulit untuk melaporkan atau menghindari situasi kekerasan. Berbagai upaya telah dilakukan untuk mengatasi masalah ini, mulai dari pemberian edukasi dan kesadaran kepada masyarakat, pemberlakuan undang-undang yang lebih ketat, hingga penyediaan layanan dukungan bagi korban. Organisasi pemerintah dan non-pemerintah bekerja sama dalam menyediakan tempat perlindungan, konseling, dan bantuan hukum bagi korban kekerasan.[2]

PERANAN HAKIM

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, peran adalah beberapa tingkah laku yang diharapkan dimiliki oleh orang yang berkedudukan di masyarakat dan harus dilaksanakan. peranan didapat setelah seseorang mendapatkan suatu kedudukan tertentu. Sehingga peranan secara umum, adalah bagian atau tindakan yang dilakukan oleh individu dalam masyarakat atau dalam suatu peristiwa yang dapat mempengaruhi orang lain, secara khusus Hakim berperan dalam menegakkan hukum dan memberikan keadilan bagi korban. Keadilan ini mencakup pemenuhan hak korban untuk mendapatkan perlindungan, dukungan, dan pemulihan, serta penerapan sanksi pidana yang sepadan terhadap pelaku.

Kekuasaan kehakiman di Negara Republik Indonesia dijalankan berdasarkan Pasal 24 UUD 1945 dan seorang hakim menjalankan tugas kehakiman berdasarkan Pasal 25 UUD 1945. Kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Selanjutnya UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 5 ayat (1) menyebutkan: Hakim dan dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.

Dalam memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam Masyarakat terkait asas legalitas. Ketentuan yang hidup dalam masyarakat acapkali tidak tertulis namun hukum tersebut haruslah sesuai dengan hilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, UUD 1945, hak asasi manusia, dan asas hukum umum yang diakui masyarakat bangsa-bangsa. Sejatinya hukum untuk kepentingan umum (lex pro bono publico) merupakan prinsip dasar hukum yang menegaskan bahwa hukum dibuat dan diterapkan untuk melindungi dan memajukan kesejahteraan masyarakat. Hukum bertujuan untuk menciptakan lingkungan yang adil, aman, dan kondusif bagi seluruh warga negara.

Dalam peristiwa kekerasan, Kristi Purwandari dan Ester Lianawati (2010) dalam sebuah penelitian untuk Program Studi Kajian Wanita Program Pascasarjana UI menyatakan, dalam kekerasan berbasis gender di mana ada relasi kuasa, dan pelaku umumnya adalah pihak yang memiliki kedekatan emosional dengan korban, korban tidak mudah untuk keluar dari lingkaran kekerasan. Telah adanya saling kenal di antara korban dan pelaku menghadirkan situasi emosional yang khusus yang menyulitkan korban untuk melaporkan kasusnya. Dalam siklus kekerasan, sehingga pola berulang, yakni adanya konflik dan ketegangan, berlanjut dengan kekerasan, berakhir dengan periode tenang dan bulan madu, kemudian diikuti kembali dengan ketegangan dan terjadi kekerasan kembali, demikian seterusnya. Periode tenang dan bulan madu setelah insiden kekerasan sering diisi dengan ucapan penyesalan dan permintaan maaf serta sikap yang lebih baik atau perilaku manis dari pelaku kekerasan. Adanya siklus kekerasan ini menyebabkan korban terus mengembangkan harapan dan mempertahankan hubungan bahkan sering disertai rasa kasihan terhadap pelaku, sehingga membuat korban sulit keluar dari perangkap kekerasan. Bila tidak ada intervensi khusus, siklus kekerasan dapat terus berputar cepat, dengan kekerasan yang semakin intens/kuat. [3]

Riwayat kekerasan tidak bisa diabaikan dalam pemeriksaan kasus kekerasan terhadap perempuan. Riwayat kekerasan mengacu pada sejarah kekerasan yang dialami korban dan atau dilakukan oleh pelaku. Jadi yang seharusnya ditelaah bukan hanya terbatas pada kejadian yang dilaporkan. Ini perlu dipahami mengingat riwayat kekerasan cenderung ditemukan dalam kekerasan terhadap perempuan berbasis gender seperti dalam KDRT dan kekerasan seksual. Jadi kekerasan terjadi berulang, atau ternyata telah dilakukan pada saat lampau atau sebelum peristiwa/kejadian terakhir yang dilaporkan. Riwayat kekerasan ini erat kaitannya dengan siklus kekerasan, sebagaimana penelitian Kristi Purwandari dan Ester Lianawati (2010), yang membuat korban tidak mudah keluar dari situasi kekerasan yang terus berlangsung. [4]

Dalam pemeriksaan di persidangan seringkali terbayangkan bahwa korban “dianggap” dapat dengan mudah keluar dari peristiwa kekerasan, namun dari hasil penelitian Kristi Purwandari dan Ester Lianawati di atas, dalam kenyataannya tidak semua korban dengan mudah keluar dari peristiwa kekerasan, sehingga hal tersebut harus dipahami agar Hakim dapat memiliki pandangan yang obyektif.

Hakim dalam menjalankan tugasnya telah berbekal pengetahuan dan peraturan perundang-undangan sehingga peka dengan hal ini. Hakim hanyalah salah satu komponen penegak hukum, Namun, Hakim tidak bisa bekerja sendiri dalam memberantas kejahatan kekerasan seksual. Masyarakat lebih berperan penting dalam pencegahan kejahatan kekerasan seksual.

PERANAN MASYARAKAT

Masalah sosial dalam Masyarakat ini perlu mendapat perhatian mendesak dan khusus dari Masyarakat. Negara akan berpotensi kehilangan sumber daya manusia apabila anak dalam tumbuh kembangnya mengalami gangguan atau Perempuan yang menjadi korban mengalami trauma fisik dan psikis sehingga tidak lagi dapat berperan serta dalam Pembangunan ekonomi negara, bahkan menjadi beban keluarga atau beban Negara.

Kekerasan terhadap wanita dan anak-anak membawa konsekuensi yang luas dan serius. Mengutip beberapa hasil penelitian dari Khadafi (2016), Ayuningtyas (2018), Alexandro, dkk (2023), secara fisik, korban dapat mengalami cedera yang memerlukan perawatan medis jangka panjang. Secara psikologis, mereka dapat mengalami trauma, depresi, kecemasan, dan gangguan stres pasca-trauma (PTSD). Selain itu, kekerasan juga berdampak negatif pada perkembangan sosial dan pendidikan anak-anak, serta menurunkan kualitas hidup wanita. [5]

Peran Masyarakat dalam hal ini sebagaimana dalam Undang-Undang antara lain dengan membentuk lembaga perlindungan Perempuan dan Anak, contohnya Rifka Annisa Women’s Crisis Center di Yogyakarta sebagai lembaga pendampingan dan pemulihan korban, Lembaga Sahabat Anak yang berawal dari diadakannya Jambore Anak Jalanan, KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia) yang dibentuk berdasarkan UU Nomor 23 Tahun 2002 Perlindungan Anak, dan sebagainya. Peran Masyarakat tidak harus dalam skala besar, pendidikan mengenai gender dalam lingkup keluarga, dan pengawasan lingkungan terbukti banyak membantu mengungkap kejahatan kekerasan seksual minimal mencegah pada kejadian yang lebih parah.

[1]Arrofy Levy Razzak, dkk, Faktor Penyebab Tindak Pidana Kekerasan Terhadap Perempuan Dan Anak Di Bawah Umur, CAUSA Jurnal lHukum dan KewarganegaraanVol 5 No 11 Tahun 2024, hal. 1.

[2] Arrofy Levy Razzak, ibid. hal. 4.

[3] Buku Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan Dengan Hukum, Mahkamah Agung RI, 2018, hal. 29. Relasi kuasa adalah relasi yang bersifat hierarkis, ketidaksetaraan dan/atau ketergantungan stasus sosail, budaya, pengetahuan/Pendidikan dan/atau ekonomi yang menimbulkan kekuasaan pada satu pihak terhadap pihak lainnya dalam konteks relasi antar gender sehingga merugikan pihak yang memiliki posisi lebih rendah. (Pasal 1 angka 9 Perma No. 3 Tahun 2017).
Khusnul Anwar memberikan pengertian relasi kuasa sebagai berkaitan dengan hubungan antara atasan dan bawahan atau bentuk struktur social secara horizontal baik formal ataupun informal seperti pimpinan dan karyawan, guru formal/non-formal dan murid, kepala sekolah dan guru, majikan dan bawahan, majikan dan asisten rumah tangga, pemilik modal dan pegawai, sutradara dan artis, dan lain-lain. (Penafsiran Unsur “Relasi Kuasa” pada Pasal Kejahatan Pencabuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Penelitian Konsistensi Putusan Isu Perempuan MaPPI FHUI dan LBH Apik 2015, dikutip dalam Buku Pedoman hal.27).

[4] Buku Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan Dengan Hukum, Mahkamah Agung RI, 2018, Ibid. hal. 28

[5] Arrpfy Levy Razzak, ibid. hal. 2.

Relaas Panggilan / Pemberitahuan Umum Kepada : Nama Pihak : JOSIAS SUARA INDRA MARDIKA Nomor: 229/Pdt.G/2025/PN Sby

PEMBERITAHUAN UMUM 229PDTG JOSIAS
=========================================================================================================================

Pemberitahuan Putusan Pengadilan Negeri Surabaya Tanggal 20 Maret 2025 Nomor: 229/Pdt.G/2025/PN Sby dengan keterangan sebagai berikut:
– Status Pengiriman: Retur
– Alasan Retur: Pihak Penerima tidak tinggal di alamat yang dituju sesuai keterangan lurah/ kepala desa termasuk aparat kelurahan/ desa.

Berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2023 Tentang Tata Cara Panggilan Dan Pemberitahuan Melalui Surat Tercatat angka 9 dan 10, selanjutnya Pemberitahuan ini diberitahukan dengan mekanisme Panggilan Umum.