POLITIK HUKUM PEMIDANAAN INDONESIA Oleh: Satyawati Yun Irianti, S.H., M.Hum

POLITIK HUKUM PEMIDANAAN INDONESIA
Oleh: Satyawati Yun Irianti, S.H., M.Hum
Hakim Pengadilan Negeri Surabaya

PENDAHULUAN

Pada 2 Januari 2026, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Nasional (KUHP Nasional) akan berlaku efektif, sejak disahkan pada 2 Januari 2023 lalu. KUHP Nasional mencerminkan arah  politik hukum pemidanaan yang diambil Pemerintah. Arah pemidanaan ini dibuat sejalan dengan perkembangan pemikiran-pemikiran baru dari para ahli pidana dan pengaruh internasional yang kemudian menjadi rujukan bagi pemerintah dalam menyusun Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Salah satu rujukan Pemerintah dalam menentukan arah pemidanaan antara lain International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) yang telah diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005. Dalam UU No. 12/2005 disebutkan antara lain: bahwa tidak seorang pun dapat dirampas hak hidupnya secara sewenang-wenang, bahwa tidak seorang pun boleh dikenai siksaan, perlakuan atau penghukuman yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat, dan masih banyak lagi. Prinsip-prinsip tersebut mengarah pada mulai dihapuskannya hukuman mati, beberapa negara memang telah menghapuskan hukuman mati dari undang-undang pidana mereka sebagai. penegakan komitmen bahwa “setiap manusia berhak atas hak untuk hidup dan mendapat hak perlindungan hukum dan tiada yang dapat mencabut hak itu” (Pasal 1 ayat (1) ICCPR).

Hukuman mati merupakan salah satu pidana yang “diperhalus” dalam KUHP Nasional yang tidak  menghilangkan hukuman mati sama sekali. Indonesia sebagai negara berdaulat penuh, berhak untuk melindungi negara dan warga negaranya dari kejahatan yang membahayakan sendi-sendi kehidupan bernegara dan berbangsa. Oleh karena itu Indonesia tetap memberlakukan pidana mati dengan memperketat pelaksanaannya dan dapat mengalihkannya ke pidana alternatif.

Hal lain yang mempengaruhi model pemidanaan dalam KUHP Nasional yaitu masalah over kapasitas di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas). Indonesia masuk dalam 10 besar tahanan terbanyak di dunia. Urut-urutannya menurut data World Prison Brief (WPB) yaitu 1.  Amerika Serikat, 2. Cina, 3. Brazil, 4. India, 5. Rusia, 6. Turki, 7. Indonesia, 8. Thailand, 9. Meksiko, 10. Iran.[1]

Fenomena ini merupakan salah satu gelombang trend penegakan hukum dengan keadilan restoratif. Konsep dan istilah restoratif justice diciptakan dan dikembangkan oleh seorang psikolog Albert Eglash pada tahun 1955, namun sebagai suatu konsep dan pendekatan dalam sistem peradilan, istilah itu baru mengalami intensitas pembahasan lima dekade yang lalu (1970-an) seiring dengan berkembangnya kajian terhadap korban yang dikenal dengan ilmu viktimologi, ditandai dengan adanya Victim-Offender Reconciliation Program (VORP)/ Program Rekonsiliasi Korban Pelaku di Ontario, Kanada, pada tahun 1974.   [2]

LIMA MISI UU NO. 1/2023

Disahkannya UU No.1/2023 menunjukkan politik hukum nasional telah mengalami perubahan paradigma pemidanaan. Perbuatan pidana tidak melulu harus berujung ke penjara. Dikedepankannya hak asasi terdakwa dan pemulihan terhadap pelaku dan korban merupakan global trend dan menjadi isu utama dalam KUHP Nasional/KUHP baru.

Prof. Eddy Hiarej mengatakan bahwa UU KUHP baru adalah wajah era baru penegakan hukum pidana di Indonesia di tahun 2026. Ada 5 (lima) misi dari lahirnya KUHP. Pertama, misi dekolonisasi yang meliputi a.) hukum tidak lagi berorientasi retributif (pembalasan), tapi menitikberatkan keadilan korektif, restoratif, dan rehabilitatif. Korektif ditujukan kepada pelaku, restoratif kepada korban, sedangkan  rehabilitatif kepada pelaku dan korban., b.) memberikan kewenangan yang lebih luas kepada hakim, karena tidak lagi berorientasi pada kepastian hukum, tapi mengedepankan aspek kemanfaatan dan keadilan. Dalam hal ini ada Pasal 55 ayat (3) UU KUHP yang berbunyi “Jika dalam menegakkan hukum dan keadilan, hakim wajib mengutamakan keadilan”, c.) Hakim tidak lagi menjadi corong undang-undang sebab peran hakim diperluas, namun tetap dibatasi dengan standar pemidanaan. Mengenai luasnya kewenangan Hakim, Prof Eddy Hiarej memberikan contoh, UU KUHP memperkenalkan rechtelijke pardon artinya terdakwa cukup dinyatakan bersalah tapi tidak dipidana, d.) Dalam UU KUHP terjadi perubahan paradigma yaitu meskipun pidana penjara adalah pidana pokok tapi bukan hal yang utama, hakim wajib menjatuhkan pidana yang lebih ringan. Misi kedua, demokratisasi artinya UU KUHP tidak mengekang kebebasan berpendapat. Perihal kebebasan berpendapat tetap dilakukan asalkan sesuai batasan-batasan sebagaimana dalam putusan Mahkamah Konstitusi. Apabila ada sebagian kalangan yang berbeda dalam memaknai ketentuan KUHP baru, hal tersebut sangat wajar, karena tidak mungkin sebuah produk hukum seperti Undang-Undang otomatis langsung disetujui atau diterima 100% oleh seluruh kalangan masyarakat. Ketiga, misi konsolidasi, artinya UU KUHP merupakan rekodifikasi atas tumpang tindihnya ketentuan dalam KUHP lama dengan Undang-Undang Pidana Khusus yang tersebar dalam beberapa undang-undang, oleh sebab itulah di dalam UU KUHP ada bab mengenai tindak pidana khusus. Keempat, misi harmonisasi, yaitu bertujuan untuk menyelaraskan berbagai undang-undang di luar UU KUHP. Kelima, misi modernisasi yaitu UU KUHP sesuai kemajuan zaman dan teknologi. [3]

Dari lima misi tersebut, apabila mencermati pasal-pasal dalam KUHP baru maka tercermin arah pemidanaan bersifat korektif, restoratif, dan rehabilitatif, oleh karena itu Hakim dalam pemidanaannya wajib memperhatikan tujuan dan pedoman pemidanaan dalam KUHP Nasional yang diatur dalam Pasal 51 sampai dengan Pasal 59 KUHP Nasional.

Penentuan berat ringannya sanksi pidana dalam KUHP baru yang menjadi pedoman pemidanaan menggunakan Modified Delphi Method (mengumpulkan pendapat dari para ahli). Dengan demikian, ukurannya menjadi proporsional dan rasional, mengutamakan penjatuhan pidana pokok yang lebih ringan, misalnya denda, jika dapat mencapai tujuan pemidanaan (Pasal 57). [4]

Selain pemidanaan yang ringan, Hakim dalam persidangan tidak sekedar memeriksa unsur-unsur dalam pasal dakwaan telah terpenuhi atau tidak, tapi harus melihat dari aspek sosiologis, psikologis, filosofis, viktimologis, dan rasa keadilan yang berkembang dalam masyarakat, sehingga Hakim dapat memberikan “pemaaf hakim” (rechtelijke pardon) untuk terdakwa.

Apabila dalam pemeriksaan Hakim berkeyakinan akan ringannya perbuatan, mengetahui keadaan pribadi pelaku atau keadaan pada waktu dilakukan tindak pidana serta yang terjadi kemudian, maka hal-hal tersebut dijadikan dasar pertimbangan untuk tidak menjatuhkan pidana atau tidak mengenakan tindakan dengan mempertimbangkan segi keadilan dan kemanusiaan. [5] Sebagai contoh pasal yang secara eksplisit menyatakan diterapkannya rechtelijke pardon, yaitu Pasal 19 KUHP yang berbunyi: percobaan melakukan Tindak Pidana yang hanya diancam dengan pidana denda paling banyak kategori II, tidak dipidana.

Walaupun pindana penjara masih merupakan ancaman utama dalam KUHP Nasional namun banyak diikuti dengan kata sambung “atau” denda. Pengaturan denda terdapat dalam Pasal 79 yang terdiri dari kategori I sampai dengan kategori VIII. Dalam menjatuhkan pidana denda Hakim wajib mempertimbangkan kemampuan terdakwa dengan memperhatikan penghasilan dan pengeluaran terdakwa secara nyata. Pidana denda wajib dibayar dalam jangka waktu tertentu yang dimuat dalam putusan hakim. Pidana denda dapat dibayar dengan cara mengangsur. Jika pidana denda tidak dibayar dalam jangka waktu yang telah ditentukan, kekayaan atau pendapatan terpidana dapat disita dan dilelang oleh jaksa untuk melunasi pidana denda yang tidak dibayar. [6]

KOREKTIF, REHABILITATIF, RESTORATIF

KUHP Nasional secara nyata menghadirkan paradigma baru pemidanaan. KUHP Nasional menggeser paradigma keadilan retributiif (sebagai pembalasan/lex talionis) yang selama ini masih berkutat di benak aparat penegak hukum dan masyarakat yang punya kecenderungan untuk menghukum (punitive). Sangat perlu untuk mulai memahami nilai-nilai keadilan korektif, keadilan rehabilitatit, dan keadilan restoratif dalam KUHP Nasional. Diperlukan adanya kesadaran bagi seluruh komponen penegak hukum mengenai arti penting dari tujuan dan pedoman pemidanaan yang diatur dalam Pasal 51-54 KUHP baru.Penerapan sanksi yang keras justru berlawanan dengan postulat melior esit justisia ere praevenies quam severe puniens, artinya suatu keadilan yang benar-benar mencegah kejahatan lebih baik daripada penghukuman yang keras. [7]

Sesuai dengan misinya untuk keadilan korektif, restoratif, dan rehabilitatif, maka selain pidana denda dan pidana penjara, terdapat pidana tutupan, pengawaan, dan pidana kerja sosial. Selain itu terdapat pidana tambahan berupa pencabutan hak tertentu, perampasan Barang tertentu dan/ atau tagihan, pengumuman putusan hakim, pembayaran ganti rugi, pencabutan izin tertentu, dan pemenuhan kewajiban adat setempat. Pidana mati merupakan upaya terakhir yang diancamkan secara alternatif untuk kasus-kasus tertentu yaitu makar terhadap Presiden dan/atau Wakil Presiden (Pasal 191), dalam Pasal 212 ayat (3) setiap orang yang dalam waktu perang melakukan sebagaimana dalam huruf a dan b, Pasal 459 pembunuhan berencana, dan tindak pidana sebagaimana dalam penjelasan Pasal 67 (Tindak Pidana yang sangat serius atau yang luar biasa, antara lain, Tindak Pidana narkotika, Tindak Pidana terorisme, Tindak Pidana korupsi, dan Tindak Pidana berat terhadap hak asasi manusia)

Pemidanaan dengan paradigma baru tersebut memberikan peluang alternatif pemidanaan non-penjara sehingga (diharapkan) dapat mengatasi kelebihan kapasitas dalam lembaga pemasyarakatan. Dari beberapa beberapa permasalahan dan model pemidanaan tersebut, maka restoratif justice akan memainkan peranan penting dalam pemidanaan kedepannya.

Raynov Tumorang Pamintaro, S.H., menyatakan KUHP baru mengenalkan pidana pengawasan, kerja sosial sebagai alternatif pidana penjara, yang memiliki suasana yang sama dengan pidana bersyarat di KUHP lama. Pidana bersyarat ini perlu didorong untuk digunakan pada kasus-kasus yang sesuai kualifikasinya. Hal ini perlu dilakukan supaya kedepannya aparat penegak hukum tidak lagi mengalami kebingungan dalam menjatuhkan pidana non-pemenjaraan yang diatur dalam KUHP baru. Jangan sampai penegakan hukum memiliki persoalan yang sama yaitu beban penjara yang eksesif meskipun KUHP baru telah berlaku. [8]

Dr. Gusrizal, S.H., M.Hum, menyatakan dalam menerapkan keadilan restoratif dalam persidangan, Hakim harus menempatkan diri sebagai penengah layaknya dalam diversi, dimana Hakim berkewajiban memberikan kesempatan dialog antara Terdakwa dengan Korban, mendorong komunikasi konstruktif di antara kedua belah pihak, memberikan saran pemecahan masalah, dapat menghadirkan tokoh agama untuk menenangkan para pihak sebagaimana ditentukan dalam Pasal 12 ayat (2) PERMA 1/2024. [9]

Restoratif justice bukan hanya ditujukan pada hakim, namun juga aparat penegak hukum lainnya yaitu polisi dan jaksa. Aparat penegak hukum polisi memiliki aturan restoratif justice sendiri yaitu Surat Edaran Kapolri No. SE/8/2018, demikian juga jaksa diatur dalam Peraturan Jaksa Agung Nomor No. 15 Tahun 2020. Perbedaan PERMA No. 1/2024 dengan peraturan internal lainnya itu pada penerapan keadilan dengan restoratif justice pada pengadilan tidak serta merta menghentikan perkara yang sedang berjalan, sarana yang digunakan tetap putusan pengadilan;

KESIMPULAN

Pidana penjara bukanlah yang utama. Hukuman penjara, apalagi diperberat bukanlah solusi mengurangi terjadinya kejahatan. Penjatuhan pidana penjara merupakan cara represif terakhir. Keadilan korektif, restoratif, edukatif, dan rehabilitasi merupakan solusi untuk mengembalikan terpidana kembali menjadi bagian dari masyarakat. Perlindungan hak asasi Tersangka/Terdakwa yang semakin ketat, menjadikan polisi, jaksa, dan hakim harus berhati-hati dalam penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di persidangan, hingga penjatuhan pidana.

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Nasional sejalan dengan Pasal 5 Undang-Undang Kekuasan Kehakiman yang berbunyi: hakim dan hakim konstitusi wajib memahami, menggali, dan mengikuti nilai- nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup di masyarakat. Sebagaimana postulat hominum causa jus constitum est, hukum dibuat untuk kebaikan manusia.

Mengingat tahun 2026 tidak lama lagi, maka perlu kesiapan mulai dari SDM hingga template putusan. Template putusan pidana yang sekarang berdasarkan SK KMA 359/KMA/SK/XII/2022 tanggal 16 Desember 2023 dalam konsideransnya tidak menyebutkan UU No. 1/2023. Sosialisasi atau pelatihan bagi hakim atas UU No. 1/2023 diperlukan, utamanya dalam pengaplikasiannya ke dalam putusan dan redaksi amar, serta untuk menyamakan pemahaman pemidanaan ke arah korektif, restoratif, dan rehabilitatif antar hakim dalam satu majelis nantinya.

[1] Siti Sarah Jauhari,  Indonesia Masuk 10 Negara dengan Jumlah Tahanan Penjara Terbanyak di Dunia, artikel online di Goodstats  5 Desember 2023, diakses 25 Maret 2025.

[2] Keadilan Restoratif: Barang Lama, Kemasan Berbeda (Mengupas Pemikiran Priyadi), artikel online, Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan Indonesia, Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, 18 Januari 2021, diakses 21 Maret 2025.

[3] Prof. Dr. Edward Omar Sjarif Hiariej, S.H., M.H., Sosialisasi KUHP Baru di Pengadilan Tinggi Bandung, Dandapala Edisi 51 Volume IX, Januari-Februari 2023.

[4] Alberts Aries, Reformasi Pidana Administrasi, Kompas 27 September 2021.

[5] Alberts Aries, ibid.

[6] Pasal 79 – Pasal 81 KUHP Nasional

[7] Alberts Aries, op.cit.

[8] Raynov Tumorang Pamintaro, S.H, Dandapala, Volume X, Edisi 59, hal. 14, Mei-Juni 2024

[9] Dr. Gusrizal, S.H., M. Hum , Dandapala, Volume X, Edisi 59, hal. 14, Mei-Juni 2024

Putusan Pengadilan dan Kebijakan Pencegahan Korupsi

Oleh : Athoillah, Hakim Ad Hoc Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Surabaya

Artikel ini juga telah dimuat pada situs Dandapala : https://dandapala.com/article/detail/putusan-pengadilan-dan-kebijakan-pencegahan-korupsi

Salah satu tantangan berat yang dihadapi Indonesia adalah masih maraknya praktik korupsi. Selain merugikan keuangan negara, praktik korupsi juga menyebabkan negara kesulitan memaksimalkan potensi yang dimilikinya untuk melayani dan menghadirkan kesejahteraan untuk rakyatnya.

Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat pada tahun 2023 terdapat 791 kasus korupsi di Indonesia dengan jumlah terdakwa mencapai 1.695 orang. Jumlah ini naik dibanding tahun sebelumnya yakni 579 kasus dengan 1.396 terdakwa pada tahun 2022 dan 533 kasus, 1.173 terdakwa pada tahun 2021.

Data tersebut sejalan dengan Indeks Perilaku Anti Korupsi (IPAK) Indonesia tahun 2024 sebesar 3,85 pada skala 0 sampai 5. Angka ini lebih rendah dibandingkan capaian 2023 sebesar 3,92, yakni mengalami penurunan sebesar 0,07 poin dibandingkan IPAK tahun 2023. Pada nilai indeks tersebut, semakin rendah nilainya (semakin mendekati nol) berarti bahwa masyarakat makin permisif terhadap perilaku korupsi. Sebaliknya, semakin tinggi nilanya (semakin mendekati 5) menunjukkan bahwa masyarakat semakin berperilaku antikorupsi.

Data yang serupa menunjukkan bahwa praktik korupsi masih cukup marak dirilis oleh Transparansi International dalam Corruption Perception Index (CPI). Data pada tahun 2022 menunjukan Indonesia berada di posisi 110 dari 180 negara dengan skor 34/100. Skor ini bertahan pada tahun 2023 dan menyebabkan Indonesia berada pada posisi 115. Skor 34/100 berarti bahwa Indonesia memiliki nilai yang sama dengan Ekuador, Malawi, Pilipina, Srilanka dan Turki. Khususnya di ASEAN, Indonesia menempati peringkat ke-7 dari 11 negara.

Masih maraknya praktik korupsi ditengah banyaknya kasus korupsi yang terungkap dan diputus oleh pengadilan, sering kali melahirkan pertanyaan: jika sudah banyak pelaku korupsi dihukum, kenapa masih ada dan “bahkan” banyak korupsi berikutnya? Jika demikian, apakah penerapan hukuman melalui putusan pengadilan tindak pidana korupsi belum mampu mencegah terjadinya korupsi berikutnya?

Jawaban atas pertanyaan tersebut “tentu saja” sangat beragam. Salah satunya adalah karena praktik korupsi yang terbongkar hingga diputus terbukti di persidangan, tidak diimbangi dengan dibangunnya sistem pencegahan tindak pidana korupsi. Dalam praktik umum yang terjadi, jika suatu dugaan korupsi terbongkar, respon pertama yang dilakukan adalah membuat deklarasi anti korupsi yang berisi komitmen untuk tidak korupsi, namun bagaimana agar tidak terjadi lagi korupsi baik perbaikan sistem kerja dan pengawasannya, seringkali diabaikan.

Dalam RPJPN Tahun 2025-2045 setidaknya terdapat tiga uraian mengenai pencegahan korupsi, yakni:

Pertama, penguatan upaya pencegahan korupsi melalui pembatasan transaksi tunai terutama dalam pemerintahan, penguatan sistem pelaporan harta kekayaan ASN, pemanfaatan teknologi informasi pada berbagai sektor untuk mempersempit potensi korupsi;

Kedua penguatan pengawasan dan pencegahan korupsi melalui penguatan dan indepedensi lembaga pengawasan, serta peningkatan kapasitas sumber daya manusia,

Ketiga lemahnya pengawasan dan sistem pencegahan korupsi dari otoritas terkait menjadi pemicu utama rendahnya integritas tata kelola pemerintah daerah dan desa. Dari ketiga narasi ini, maka selain sistem pengawasan yang harus diperbaiki, juga adanya kesadaran bahwa “sistem pencegahan korupsi dari otoritas terkait” yang belum maksimal.

Korupsi bukanlah kejahatan yang terjadi karena ketidak sengajaan. Ada niat dan usaha untuk mewujudkannya. Oleh karena itu, untuk mencegahnya, selain melalui pesan-pesan moral, yang paling penting adalah membangun sistem yang mampu mencegahkan, setidaknya, menjadikan niat untuk korupsi menjadi sulit direalisasikan.

Secara umum, banyak orang sependapat bahwa hukum yang dijatuhkan kepada seorang terdakwa diharapkan memberikan efek jera, baik bagi pelaku agar tidak mengulangi perbuatannya maupun memberi pesan kuat kepada pihak lain bahwa perbuatan tersebut merupakan perbuatan yang dilarang oleh hukum dan jika dilanggar, ada sanksinya.

Terbuktinya perbuatan korupsi senyatanya tidak semata terbuktinya perbuatan terdakwa melakukan tindakan korupsi, tetapi juga menunjukkan adanya celah dalam penyelenggaraan urusan publik dan penggunaan kewenangan. Celah inilah yang dimanfaatkan oleh pelaku untuk melakukan perbuatannya.

Untuk itu, jika ingin melakukan pencegahan dari terjadinya, bahkan, terulangnya perbuatan korupsi, para pengambil kebijakan seyogyanya mulai menggunakan putusan pengadilan sebagai bahan penting melakukan perbaikan dan membangun sistem anti korupsi.

Secara lebih kongkrit dan praktis, pembangunan pencegahan korupsi seyogyanya menggunakan putusan pengadilan sebagai referensi penting, karena dalam putusan tersebut, tergambarkan bagaimana perbuatan korupsi terjadi. Dengan demikian, maka putusan pengadilan khususnya dalam perkara Tipikor, tidak hanya terkait dengan pertanggungjawaban pelaku, namun juga memiliki manfaat yang lebih luas utamanya dalam membangun sistem dan strategi pencegahan korupsi.

Para hakim melalui putusannya menyajikan uraian fakta dan pertimbangan bagaimana praktik korupsi terjadi. Uraian tersebut sejatinya tidak semata menunjukkan bagaimana terdakwa melakukan perbuatannya, tapi juga menunjukkan adanya celah dalam penyelenggaraan urusan publik dan penggunaan kewenangan. Celah inilah yang dimanfaatkan oleh pelaku untuk melakukan perbuatannya. Dengan mengetahui celah-celah tersebut, maka upaya membangun sistem pencegahan korupsi seharusnya lebih mudah dilakukan.

Strategi pencegahan korupsi sebenarnya bersifat “tailor made”: menyesuaikan dengan keadaan penggunanya. Tidak ada strategi yang secara umum bisa efektif diberlakukan pada semua tempat karena situasi bisa jadi berbeda-beda. Oleh karena itu, maka bagi instansi yang pernah terjadi praktik korupsi dan telah diputus oleh Pengadilan, dapat mengambil pelajaran dari praktik yang terjadi sebelumnya melalui dalam merumuskan sistem pencegahan. Karena tanpa dibuatnya sistem pencegahan hanya akan melahirkan praktik korupsi berulang. Bukan begitu?

(LDR)

GEMPA LITERASI OLEH: SAFRI, S.H., M.H.

Recently updated on October 11th, 2022 at 12:28 am

Ada sekali peristiwa di relung-relung sunyi Hira terdengar seru:,”Bacalah dengan nama Tuhan-Mu” (Goenawan Moehammad)


Ada dua hal yang mendorong penulis mengangkat tema ini. Pertama, fenomena budaya literasi –membaca dan menulis secara fungsional- yang sangat rendah paling tidak dari hasil pengalaman dan pengamatan penulis di berbagai tempat dan situasi. Kedua, buku Gempa Literasi –sekaligus saya meminjamnya sebagai judul tulisan- karya Gol A Gong dan Agus M. Irkham terbitan KPG (2012).

Hal pertama paling tidak tergambar dari situasi diskusi buku Catatan Seorang Hakim di ruang sidang utama Pengadilan Agama (4/5/2012) yang di-endorse oleh IKAHI (Ikatan Hakim Indonesia) cabang Pontianak. Kegiatan yang seharusnya menjadi ajang pergulatan pemikiran, debat sekaligus sharing bagi para hakim tidak berlangsung sebagaimana mestinya. Peserta yang diundang tidak cukup sepertiga dari keseluruhan hakim dari berbagai jenis pengadilan yang ada di Pontianak. Lebih-lebih hakim adhoc hanya hadir dua orang. Padahal acara sudah dirancang sedemikian rupa untuk “memancing” para hakim terlibat dengan mengratiskan buku bagi yang hadir meniru talk show Kick Andy. Pembahasnyapun hanya satu orang yang hadir dari STAIN Pontianak.

Hal lain yang memiriskan beberapa waktu setelah diskusi berlangsung banyak yang meminta dikirimi buku secara gratis. Saya memang menawarkan beberapa buku ke berbagai kalangan di kota Pontianak tapi hanya sebagian kecil yang tertarik padahal harganya hanya setara dua bungkus nasi padang atau sekali makan di gerai fast food. Saya salut kepada para pengacara di kota ini yang begitu antusias merespon bahkan ada yang memesan hingga 10 eksemplar buku. Alasannya sederhana ingin mendapat pencerahan sekaligus membagi-bagikan kepada hakim di daerah yang tak sempat membacanya. Luar biasa!

 Saya memang berkehendak menghidupkan tradisi literasi diberbagai daerah yang saya tempati termasuk mengangkat sedikit kearifan lokal dan budaya hukum dengan menerbitkan buku setiap daerah yang saya tempati. Begitu antusiasnya mendorong budaya baca dan menulis seorang jaksa saya beri garansi –jika tidak memperoleh manfaat dari buku ini- tidak usah dibeli dan harap dikembalikan.

Apresiasi terhadap budaya literasi juga perlu dilembagakan. Minggu lalu saya mendaftar S2 ilmu hukum di Pasca Sarjana Universitas Tanjungpura (UNTAN). Ketika mengembalikan formulir dan berkas saya menyodorkan satu buah buku karangan saya sebagai karya ilmiah –salah satu persyaratan mengikuti tes- tapi ditolak bagian penerimaan. Alasannya karya ilmiah itu harus dalam bentuk makalah minimal 10 halaman. Saya menjawab bahwa buku juga adalah karya ilmiah bahkan mungkin lebih ilmiah dan ditulis lebih dari 200 halaman namun petugas administrasi tetap menolak.

Pengalaman saya di berbagai tempat masyarakat masih kurang mengapresiasi karya-karya yang berorientasi pada kekayaan intelektual termasuk buku. Kurangnya penghargaan terhadap buku karena budaya baca yang tidak berkembang dengan baik. Meskipun belum ada ukuran apakah suatu bangsa atau daerah memiliki tingkat atau budaya baca yang tinggi akan tetapi data terkini mengungkapkan Indonesia dengan jumlah penduduk kurang lebih 225 juta hanya menghasilkan 8.000 judul buku. Artinya, hanya ada 35 judul buku baru per 1 juta penduduk. Padahal ukuran negara berkembang minimal 55 judul buku baru per 1 juta penduduk.

Budaya Literasi
Diskursus tentang ilmu hukum khususnya kajian sosiologi dan filsafat senantiasa menarik untuk dicermati. Sifatnya yang realistik dan idealistik merupakan suatu fenomena yang sangat hidup dan dinamis. Seolah-olah mempertegas asumsi teaching order finding disorder, mengajarkan keteraturan menemukan ketidakaturan. Namun pengembangan keduanya akan stagnan jika tidak didukung oleh pengembangan literasi yang memadai.

Masyarakat hukum dan peradilan wajib menjaga tradisi keilmuan dengan diskusi, dialog dan pengembangan budaya literasi. Budaya literasi biasanya dipahami sebagai kemampuan “membaca dan menulis” namun telah berkembang menjadi konsep literasi fungsional yaitu literasi yang terkait dengan berbagai fungsi dan keterampilan hidup. Penguasaan literasi yang baik telah menorehkan catatan sejarah yang mengesankan antara lain:
1. Ketika perang Spanyol dengan Inggeris di Pantai Gravelines Perancis Agustus 1588, armada Inggeris berhasil memenangkan perang. Dalam buku The Achieving Society (1961), David McClelland menulis Inggeris menang karena kebutuhan meraih keberhasilan lebih tinggi dari pada armada Spanyol. Salah satu penentu n-achievement adalah corak sastra rakyat. Corak sastra Inggeris berkisah tentang petualangan dan perjuangan, corak sastra Spanyol tentang kemewahan dan hiburan. Jika dibanding sekarang masyarakat terutama ibu-ibu dan remaja putri lebih menyukai sinetron, soap opera atau tayangan infotainment.
2. Jepang mengalahkan Rusia pada pertempuran di Selat Tsushima 27-28 Mei 1905. Penentu hasil perang menurut Geoffrey Jukes penulis The Russo-Japanese War 1904-1905 bukanlah teknologi tapi tingkat literasi. Hanya 20% personel Rusia bisa “membaca dan menulis”. Akibatnya, banyak yang tidak mampu mengoperasikan secara benar persenjataan modern saat itu dan sistem nirkabel yang diimpor dari Jerman.
PIRLS (Progress in International Reading Literacy Study) 2001 dan 2006 mencatat bahwa kemampuan memahami dan keterampilan menggunakan bacaan-bacaan khususnya teks dokumen pada anak-anak Indonesia usia 9-14 tahun berada di peringkat lima terbawah.

Kita juga ternyata kalah dari Malaysia dalam kualitas perguruan tinggi. Dalam 100 Universitas terbaik di Asia tahun 2010, UI menduduki peringkat 50 dan UGM ke-85. Malaysia menempatkan 5 universitasnya diurutan 42, 58, 69, 77 dan 82. Ternyata kualitas universitas Malaysia sangat terkait dengan information literate. Pemerintah Malaysia punya program sejak tahun 1996 yaitu tahun 2020 semua warga Malaysia sudah melek informasi dan telah memiliki sarana lengkap menjadi pekerja bermodal pengetahuan. Para guru dan murid dilatih mengakses, memanfaatkan dan mengembangkan informasi dari buku, kamus, ensiklopedia atau internet agar menjadi kreatif dan inovatif.

Literasi dunia hukum
Sebagai institusi, bangsa dan pribadi kita perlu memenangi literasi. Kita tidak cukup dengan hanya menjadi penikmat informasi dan pengetahuan tapi juga sebagai pelaku, penguasa dan produsen ilmu pengetahuan. Tanpa adanya kemampuan literasi yang memadai pengembangan ilmu hukum kita kemungkinan akan macet.

Saya sendiri menulis Catatan Seorang Hakim berangkat dari pergumulan pemikiran, kegelisahan, dan hasil interaksi dari banyak orang sampai pada serpihan-serpihan cerita dan pikiran yang tersebar dari berbagai referensi. Materi buku itu terdiri dari tiga bagian: Catatan tentang manusia, Catatan tentang Hukum, dan Catatan tentang Idealisme. Pemetaan atau pemilahan itu disesuaikan dengan tema dan substansi tiap bagian tetapi merupakan satu kesatuan yang saling berhubungan. Teori-teori dan gagasan yang dihadirkan dalam buku itu hanyalah memberi penguatan atau penegasan bagaimana hukum dan kehidupan sosial bekerja dan merefleksi dalam kehidupan sosial.
Dua bagian pertama memperlihatkan adanya problem kompleksitas yang dalam kajian filsafat hukum disebut Chaos. Chaos adalah alternatif bagi positivisme hukum. Chaos memberi tawaran, bukan lagi semata-mata kepastian hukum yang hendak dicapai tetapi keadilan yang lebih luas dan terbuka yang dihasilkan dari ketidakpastian makna teks dan realitas sosial yang tidak beraturan (disorder).

Perkembangan pemikiran dibidang filsafat hukum semakin meneguhkan asumsi bahwa masyarakat tidak hanya dijaga oleh hukum dan keteraturan (order) tapi juga ketidakaturan (disorder). Para pembuat hukum mencoba memelihara dan menjaga keteraturan akan tetapi patut disadari bahwa masyarakat tidak hanya diatur dan dijaga oleh hukum tapi juga oleh tatanan sosial dan kearifan lokal. Dengan demikian hukum sudah saatnya tidak lagi terpaku pada makna yang mapan sebagaimana pandangan Jacques Derrida seorang post-strukturalis..
Di dalam chaos terkandung pluralitas, transformasi, mutasi, perbedaan dan keanekaragaman, diversitas, dan multiplisitas. Kondisi chaos bukan untuk dihindari atau dilawan tetapi dimaknai sebagai satu kemungkinan yang dapat dikembangkan. Kondisi sosial masyarakat dalam memahami dan berhukum yang tergambar dalam serpihan-serpihan tulisan buku ini kemungkinan memperkuat dugaan-dugaan terbuktinya chaos dalam masyarakat.
Dengan membaca dan menulis kondisi dan budaya hukum masyarakat setidaknya dapat diungkapkan. Walaupun menjadi penulis, kata Milan Kundera bukanlah untuk mengkhutbahkan kebenaran namun untuk menggali dan menemukan kebenaran kendati hanya seserpih. Setidak-tidaknya kata William Feather buku akan meluaskan jiwamu lebih dari orang lain mampu melakukannya.

Humas PN Surabaya