POLITIK HUKUM PEMIDANAAN INDONESIA Oleh: Satyawati Yun Irianti, S.H., M.Hum
POLITIK HUKUM PEMIDANAAN INDONESIA
Oleh: Satyawati Yun Irianti, S.H., M.Hum
Hakim Pengadilan Negeri Surabaya
PENDAHULUAN
Pada 2 Januari 2026, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Nasional (KUHP Nasional) akan berlaku efektif, sejak disahkan pada 2 Januari 2023 lalu. KUHP Nasional mencerminkan arah politik hukum pemidanaan yang diambil Pemerintah. Arah pemidanaan ini dibuat sejalan dengan perkembangan pemikiran-pemikiran baru dari para ahli pidana dan pengaruh internasional yang kemudian menjadi rujukan bagi pemerintah dalam menyusun Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Salah satu rujukan Pemerintah dalam menentukan arah pemidanaan antara lain International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) yang telah diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005. Dalam UU No. 12/2005 disebutkan antara lain: bahwa tidak seorang pun dapat dirampas hak hidupnya secara sewenang-wenang, bahwa tidak seorang pun boleh dikenai siksaan, perlakuan atau penghukuman yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat, dan masih banyak lagi. Prinsip-prinsip tersebut mengarah pada mulai dihapuskannya hukuman mati, beberapa negara memang telah menghapuskan hukuman mati dari undang-undang pidana mereka sebagai. penegakan komitmen bahwa “setiap manusia berhak atas hak untuk hidup dan mendapat hak perlindungan hukum dan tiada yang dapat mencabut hak itu” (Pasal 1 ayat (1) ICCPR).
Hukuman mati merupakan salah satu pidana yang “diperhalus” dalam KUHP Nasional yang tidak menghilangkan hukuman mati sama sekali. Indonesia sebagai negara berdaulat penuh, berhak untuk melindungi negara dan warga negaranya dari kejahatan yang membahayakan sendi-sendi kehidupan bernegara dan berbangsa. Oleh karena itu Indonesia tetap memberlakukan pidana mati dengan memperketat pelaksanaannya dan dapat mengalihkannya ke pidana alternatif.
Hal lain yang mempengaruhi model pemidanaan dalam KUHP Nasional yaitu masalah over kapasitas di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas). Indonesia masuk dalam 10 besar tahanan terbanyak di dunia. Urut-urutannya menurut data World Prison Brief (WPB) yaitu 1. Amerika Serikat, 2. Cina, 3. Brazil, 4. India, 5. Rusia, 6. Turki, 7. Indonesia, 8. Thailand, 9. Meksiko, 10. Iran.[1]
Fenomena ini merupakan salah satu gelombang trend penegakan hukum dengan keadilan restoratif. Konsep dan istilah restoratif justice diciptakan dan dikembangkan oleh seorang psikolog Albert Eglash pada tahun 1955, namun sebagai suatu konsep dan pendekatan dalam sistem peradilan, istilah itu baru mengalami intensitas pembahasan lima dekade yang lalu (1970-an) seiring dengan berkembangnya kajian terhadap korban yang dikenal dengan ilmu viktimologi, ditandai dengan adanya Victim-Offender Reconciliation Program (VORP)/ Program Rekonsiliasi Korban Pelaku di Ontario, Kanada, pada tahun 1974. [2]
LIMA MISI UU NO. 1/2023
Disahkannya UU No.1/2023 menunjukkan politik hukum nasional telah mengalami perubahan paradigma pemidanaan. Perbuatan pidana tidak melulu harus berujung ke penjara. Dikedepankannya hak asasi terdakwa dan pemulihan terhadap pelaku dan korban merupakan global trend dan menjadi isu utama dalam KUHP Nasional/KUHP baru.
Prof. Eddy Hiarej mengatakan bahwa UU KUHP baru adalah wajah era baru penegakan hukum pidana di Indonesia di tahun 2026. Ada 5 (lima) misi dari lahirnya KUHP. Pertama, misi dekolonisasi yang meliputi a.) hukum tidak lagi berorientasi retributif (pembalasan), tapi menitikberatkan keadilan korektif, restoratif, dan rehabilitatif. Korektif ditujukan kepada pelaku, restoratif kepada korban, sedangkan rehabilitatif kepada pelaku dan korban., b.) memberikan kewenangan yang lebih luas kepada hakim, karena tidak lagi berorientasi pada kepastian hukum, tapi mengedepankan aspek kemanfaatan dan keadilan. Dalam hal ini ada Pasal 55 ayat (3) UU KUHP yang berbunyi “Jika dalam menegakkan hukum dan keadilan, hakim wajib mengutamakan keadilan”, c.) Hakim tidak lagi menjadi corong undang-undang sebab peran hakim diperluas, namun tetap dibatasi dengan standar pemidanaan. Mengenai luasnya kewenangan Hakim, Prof Eddy Hiarej memberikan contoh, UU KUHP memperkenalkan rechtelijke pardon artinya terdakwa cukup dinyatakan bersalah tapi tidak dipidana, d.) Dalam UU KUHP terjadi perubahan paradigma yaitu meskipun pidana penjara adalah pidana pokok tapi bukan hal yang utama, hakim wajib menjatuhkan pidana yang lebih ringan. Misi kedua, demokratisasi artinya UU KUHP tidak mengekang kebebasan berpendapat. Perihal kebebasan berpendapat tetap dilakukan asalkan sesuai batasan-batasan sebagaimana dalam putusan Mahkamah Konstitusi. Apabila ada sebagian kalangan yang berbeda dalam memaknai ketentuan KUHP baru, hal tersebut sangat wajar, karena tidak mungkin sebuah produk hukum seperti Undang-Undang otomatis langsung disetujui atau diterima 100% oleh seluruh kalangan masyarakat. Ketiga, misi konsolidasi, artinya UU KUHP merupakan rekodifikasi atas tumpang tindihnya ketentuan dalam KUHP lama dengan Undang-Undang Pidana Khusus yang tersebar dalam beberapa undang-undang, oleh sebab itulah di dalam UU KUHP ada bab mengenai tindak pidana khusus. Keempat, misi harmonisasi, yaitu bertujuan untuk menyelaraskan berbagai undang-undang di luar UU KUHP. Kelima, misi modernisasi yaitu UU KUHP sesuai kemajuan zaman dan teknologi. [3]
Dari lima misi tersebut, apabila mencermati pasal-pasal dalam KUHP baru maka tercermin arah pemidanaan bersifat korektif, restoratif, dan rehabilitatif, oleh karena itu Hakim dalam pemidanaannya wajib memperhatikan tujuan dan pedoman pemidanaan dalam KUHP Nasional yang diatur dalam Pasal 51 sampai dengan Pasal 59 KUHP Nasional.
Penentuan berat ringannya sanksi pidana dalam KUHP baru yang menjadi pedoman pemidanaan menggunakan Modified Delphi Method (mengumpulkan pendapat dari para ahli). Dengan demikian, ukurannya menjadi proporsional dan rasional, mengutamakan penjatuhan pidana pokok yang lebih ringan, misalnya denda, jika dapat mencapai tujuan pemidanaan (Pasal 57). [4]
Selain pemidanaan yang ringan, Hakim dalam persidangan tidak sekedar memeriksa unsur-unsur dalam pasal dakwaan telah terpenuhi atau tidak, tapi harus melihat dari aspek sosiologis, psikologis, filosofis, viktimologis, dan rasa keadilan yang berkembang dalam masyarakat, sehingga Hakim dapat memberikan “pemaaf hakim” (rechtelijke pardon) untuk terdakwa.
Apabila dalam pemeriksaan Hakim berkeyakinan akan ringannya perbuatan, mengetahui keadaan pribadi pelaku atau keadaan pada waktu dilakukan tindak pidana serta yang terjadi kemudian, maka hal-hal tersebut dijadikan dasar pertimbangan untuk tidak menjatuhkan pidana atau tidak mengenakan tindakan dengan mempertimbangkan segi keadilan dan kemanusiaan. [5] Sebagai contoh pasal yang secara eksplisit menyatakan diterapkannya rechtelijke pardon, yaitu Pasal 19 KUHP yang berbunyi: percobaan melakukan Tindak Pidana yang hanya diancam dengan pidana denda paling banyak kategori II, tidak dipidana.
Walaupun pindana penjara masih merupakan ancaman utama dalam KUHP Nasional namun banyak diikuti dengan kata sambung “atau” denda. Pengaturan denda terdapat dalam Pasal 79 yang terdiri dari kategori I sampai dengan kategori VIII. Dalam menjatuhkan pidana denda Hakim wajib mempertimbangkan kemampuan terdakwa dengan memperhatikan penghasilan dan pengeluaran terdakwa secara nyata. Pidana denda wajib dibayar dalam jangka waktu tertentu yang dimuat dalam putusan hakim. Pidana denda dapat dibayar dengan cara mengangsur. Jika pidana denda tidak dibayar dalam jangka waktu yang telah ditentukan, kekayaan atau pendapatan terpidana dapat disita dan dilelang oleh jaksa untuk melunasi pidana denda yang tidak dibayar. [6]
KOREKTIF, REHABILITATIF, RESTORATIF
KUHP Nasional secara nyata menghadirkan paradigma baru pemidanaan. KUHP Nasional menggeser paradigma keadilan retributiif (sebagai pembalasan/lex talionis) yang selama ini masih berkutat di benak aparat penegak hukum dan masyarakat yang punya kecenderungan untuk menghukum (punitive). Sangat perlu untuk mulai memahami nilai-nilai keadilan korektif, keadilan rehabilitatit, dan keadilan restoratif dalam KUHP Nasional. Diperlukan adanya kesadaran bagi seluruh komponen penegak hukum mengenai arti penting dari tujuan dan pedoman pemidanaan yang diatur dalam Pasal 51-54 KUHP baru.Penerapan sanksi yang keras justru berlawanan dengan postulat melior esit justisia ere praevenies quam severe puniens, artinya suatu keadilan yang benar-benar mencegah kejahatan lebih baik daripada penghukuman yang keras. [7]
Sesuai dengan misinya untuk keadilan korektif, restoratif, dan rehabilitatif, maka selain pidana denda dan pidana penjara, terdapat pidana tutupan, pengawaan, dan pidana kerja sosial. Selain itu terdapat pidana tambahan berupa pencabutan hak tertentu, perampasan Barang tertentu dan/ atau tagihan, pengumuman putusan hakim, pembayaran ganti rugi, pencabutan izin tertentu, dan pemenuhan kewajiban adat setempat. Pidana mati merupakan upaya terakhir yang diancamkan secara alternatif untuk kasus-kasus tertentu yaitu makar terhadap Presiden dan/atau Wakil Presiden (Pasal 191), dalam Pasal 212 ayat (3) setiap orang yang dalam waktu perang melakukan sebagaimana dalam huruf a dan b, Pasal 459 pembunuhan berencana, dan tindak pidana sebagaimana dalam penjelasan Pasal 67 (Tindak Pidana yang sangat serius atau yang luar biasa, antara lain, Tindak Pidana narkotika, Tindak Pidana terorisme, Tindak Pidana korupsi, dan Tindak Pidana berat terhadap hak asasi manusia)
Pemidanaan dengan paradigma baru tersebut memberikan peluang alternatif pemidanaan non-penjara sehingga (diharapkan) dapat mengatasi kelebihan kapasitas dalam lembaga pemasyarakatan. Dari beberapa beberapa permasalahan dan model pemidanaan tersebut, maka restoratif justice akan memainkan peranan penting dalam pemidanaan kedepannya.
Raynov Tumorang Pamintaro, S.H., menyatakan KUHP baru mengenalkan pidana pengawasan, kerja sosial sebagai alternatif pidana penjara, yang memiliki suasana yang sama dengan pidana bersyarat di KUHP lama. Pidana bersyarat ini perlu didorong untuk digunakan pada kasus-kasus yang sesuai kualifikasinya. Hal ini perlu dilakukan supaya kedepannya aparat penegak hukum tidak lagi mengalami kebingungan dalam menjatuhkan pidana non-pemenjaraan yang diatur dalam KUHP baru. Jangan sampai penegakan hukum memiliki persoalan yang sama yaitu beban penjara yang eksesif meskipun KUHP baru telah berlaku. [8]
Dr. Gusrizal, S.H., M.Hum, menyatakan dalam menerapkan keadilan restoratif dalam persidangan, Hakim harus menempatkan diri sebagai penengah layaknya dalam diversi, dimana Hakim berkewajiban memberikan kesempatan dialog antara Terdakwa dengan Korban, mendorong komunikasi konstruktif di antara kedua belah pihak, memberikan saran pemecahan masalah, dapat menghadirkan tokoh agama untuk menenangkan para pihak sebagaimana ditentukan dalam Pasal 12 ayat (2) PERMA 1/2024. [9]
Restoratif justice bukan hanya ditujukan pada hakim, namun juga aparat penegak hukum lainnya yaitu polisi dan jaksa. Aparat penegak hukum polisi memiliki aturan restoratif justice sendiri yaitu Surat Edaran Kapolri No. SE/8/2018, demikian juga jaksa diatur dalam Peraturan Jaksa Agung Nomor No. 15 Tahun 2020. Perbedaan PERMA No. 1/2024 dengan peraturan internal lainnya itu pada penerapan keadilan dengan restoratif justice pada pengadilan tidak serta merta menghentikan perkara yang sedang berjalan, sarana yang digunakan tetap putusan pengadilan;
KESIMPULAN
Pidana penjara bukanlah yang utama. Hukuman penjara, apalagi diperberat bukanlah solusi mengurangi terjadinya kejahatan. Penjatuhan pidana penjara merupakan cara represif terakhir. Keadilan korektif, restoratif, edukatif, dan rehabilitasi merupakan solusi untuk mengembalikan terpidana kembali menjadi bagian dari masyarakat. Perlindungan hak asasi Tersangka/Terdakwa yang semakin ketat, menjadikan polisi, jaksa, dan hakim harus berhati-hati dalam penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di persidangan, hingga penjatuhan pidana.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Nasional sejalan dengan Pasal 5 Undang-Undang Kekuasan Kehakiman yang berbunyi: hakim dan hakim konstitusi wajib memahami, menggali, dan mengikuti nilai- nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup di masyarakat. Sebagaimana postulat hominum causa jus constitum est, hukum dibuat untuk kebaikan manusia.
Mengingat tahun 2026 tidak lama lagi, maka perlu kesiapan mulai dari SDM hingga template putusan. Template putusan pidana yang sekarang berdasarkan SK KMA 359/KMA/SK/XII/2022 tanggal 16 Desember 2023 dalam konsideransnya tidak menyebutkan UU No. 1/2023. Sosialisasi atau pelatihan bagi hakim atas UU No. 1/2023 diperlukan, utamanya dalam pengaplikasiannya ke dalam putusan dan redaksi amar, serta untuk menyamakan pemahaman pemidanaan ke arah korektif, restoratif, dan rehabilitatif antar hakim dalam satu majelis nantinya.
[1] Siti Sarah Jauhari, Indonesia Masuk 10 Negara dengan Jumlah Tahanan Penjara Terbanyak di Dunia, artikel online di Goodstats 5 Desember 2023, diakses 25 Maret 2025.
[2] Keadilan Restoratif: Barang Lama, Kemasan Berbeda (Mengupas Pemikiran Priyadi), artikel online, Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan Indonesia, Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, 18 Januari 2021, diakses 21 Maret 2025.
[3] Prof. Dr. Edward Omar Sjarif Hiariej, S.H., M.H., Sosialisasi KUHP Baru di Pengadilan Tinggi Bandung, Dandapala Edisi 51 Volume IX, Januari-Februari 2023.
[4] Alberts Aries, Reformasi Pidana Administrasi, Kompas 27 September 2021.
[5] Alberts Aries, ibid.
[6] Pasal 79 – Pasal 81 KUHP Nasional
[7] Alberts Aries, op.cit.
[8] Raynov Tumorang Pamintaro, S.H, Dandapala, Volume X, Edisi 59, hal. 14, Mei-Juni 2024
[9] Dr. Gusrizal, S.H., M. Hum , Dandapala, Volume X, Edisi 59, hal. 14, Mei-Juni 2024