GEMPA LITERASI OLEH: SAFRI, S.H., M.H.

Recently updated on October 11th, 2022 at 12:28 am

Ada sekali peristiwa di relung-relung sunyi Hira terdengar seru:,”Bacalah dengan nama Tuhan-Mu” (Goenawan Moehammad)


Ada dua hal yang mendorong penulis mengangkat tema ini. Pertama, fenomena budaya literasi –membaca dan menulis secara fungsional- yang sangat rendah paling tidak dari hasil pengalaman dan pengamatan penulis di berbagai tempat dan situasi. Kedua, buku Gempa Literasi –sekaligus saya meminjamnya sebagai judul tulisan- karya Gol A Gong dan Agus M. Irkham terbitan KPG (2012).

Hal pertama paling tidak tergambar dari situasi diskusi buku Catatan Seorang Hakim di ruang sidang utama Pengadilan Agama (4/5/2012) yang di-endorse oleh IKAHI (Ikatan Hakim Indonesia) cabang Pontianak. Kegiatan yang seharusnya menjadi ajang pergulatan pemikiran, debat sekaligus sharing bagi para hakim tidak berlangsung sebagaimana mestinya. Peserta yang diundang tidak cukup sepertiga dari keseluruhan hakim dari berbagai jenis pengadilan yang ada di Pontianak. Lebih-lebih hakim adhoc hanya hadir dua orang. Padahal acara sudah dirancang sedemikian rupa untuk “memancing” para hakim terlibat dengan mengratiskan buku bagi yang hadir meniru talk show Kick Andy. Pembahasnyapun hanya satu orang yang hadir dari STAIN Pontianak.

Hal lain yang memiriskan beberapa waktu setelah diskusi berlangsung banyak yang meminta dikirimi buku secara gratis. Saya memang menawarkan beberapa buku ke berbagai kalangan di kota Pontianak tapi hanya sebagian kecil yang tertarik padahal harganya hanya setara dua bungkus nasi padang atau sekali makan di gerai fast food. Saya salut kepada para pengacara di kota ini yang begitu antusias merespon bahkan ada yang memesan hingga 10 eksemplar buku. Alasannya sederhana ingin mendapat pencerahan sekaligus membagi-bagikan kepada hakim di daerah yang tak sempat membacanya. Luar biasa!

 Saya memang berkehendak menghidupkan tradisi literasi diberbagai daerah yang saya tempati termasuk mengangkat sedikit kearifan lokal dan budaya hukum dengan menerbitkan buku setiap daerah yang saya tempati. Begitu antusiasnya mendorong budaya baca dan menulis seorang jaksa saya beri garansi –jika tidak memperoleh manfaat dari buku ini- tidak usah dibeli dan harap dikembalikan.

Apresiasi terhadap budaya literasi juga perlu dilembagakan. Minggu lalu saya mendaftar S2 ilmu hukum di Pasca Sarjana Universitas Tanjungpura (UNTAN). Ketika mengembalikan formulir dan berkas saya menyodorkan satu buah buku karangan saya sebagai karya ilmiah –salah satu persyaratan mengikuti tes- tapi ditolak bagian penerimaan. Alasannya karya ilmiah itu harus dalam bentuk makalah minimal 10 halaman. Saya menjawab bahwa buku juga adalah karya ilmiah bahkan mungkin lebih ilmiah dan ditulis lebih dari 200 halaman namun petugas administrasi tetap menolak.

Pengalaman saya di berbagai tempat masyarakat masih kurang mengapresiasi karya-karya yang berorientasi pada kekayaan intelektual termasuk buku. Kurangnya penghargaan terhadap buku karena budaya baca yang tidak berkembang dengan baik. Meskipun belum ada ukuran apakah suatu bangsa atau daerah memiliki tingkat atau budaya baca yang tinggi akan tetapi data terkini mengungkapkan Indonesia dengan jumlah penduduk kurang lebih 225 juta hanya menghasilkan 8.000 judul buku. Artinya, hanya ada 35 judul buku baru per 1 juta penduduk. Padahal ukuran negara berkembang minimal 55 judul buku baru per 1 juta penduduk.

Budaya Literasi
Diskursus tentang ilmu hukum khususnya kajian sosiologi dan filsafat senantiasa menarik untuk dicermati. Sifatnya yang realistik dan idealistik merupakan suatu fenomena yang sangat hidup dan dinamis. Seolah-olah mempertegas asumsi teaching order finding disorder, mengajarkan keteraturan menemukan ketidakaturan. Namun pengembangan keduanya akan stagnan jika tidak didukung oleh pengembangan literasi yang memadai.

Masyarakat hukum dan peradilan wajib menjaga tradisi keilmuan dengan diskusi, dialog dan pengembangan budaya literasi. Budaya literasi biasanya dipahami sebagai kemampuan “membaca dan menulis” namun telah berkembang menjadi konsep literasi fungsional yaitu literasi yang terkait dengan berbagai fungsi dan keterampilan hidup. Penguasaan literasi yang baik telah menorehkan catatan sejarah yang mengesankan antara lain:
1. Ketika perang Spanyol dengan Inggeris di Pantai Gravelines Perancis Agustus 1588, armada Inggeris berhasil memenangkan perang. Dalam buku The Achieving Society (1961), David McClelland menulis Inggeris menang karena kebutuhan meraih keberhasilan lebih tinggi dari pada armada Spanyol. Salah satu penentu n-achievement adalah corak sastra rakyat. Corak sastra Inggeris berkisah tentang petualangan dan perjuangan, corak sastra Spanyol tentang kemewahan dan hiburan. Jika dibanding sekarang masyarakat terutama ibu-ibu dan remaja putri lebih menyukai sinetron, soap opera atau tayangan infotainment.
2. Jepang mengalahkan Rusia pada pertempuran di Selat Tsushima 27-28 Mei 1905. Penentu hasil perang menurut Geoffrey Jukes penulis The Russo-Japanese War 1904-1905 bukanlah teknologi tapi tingkat literasi. Hanya 20% personel Rusia bisa “membaca dan menulis”. Akibatnya, banyak yang tidak mampu mengoperasikan secara benar persenjataan modern saat itu dan sistem nirkabel yang diimpor dari Jerman.
PIRLS (Progress in International Reading Literacy Study) 2001 dan 2006 mencatat bahwa kemampuan memahami dan keterampilan menggunakan bacaan-bacaan khususnya teks dokumen pada anak-anak Indonesia usia 9-14 tahun berada di peringkat lima terbawah.

Kita juga ternyata kalah dari Malaysia dalam kualitas perguruan tinggi. Dalam 100 Universitas terbaik di Asia tahun 2010, UI menduduki peringkat 50 dan UGM ke-85. Malaysia menempatkan 5 universitasnya diurutan 42, 58, 69, 77 dan 82. Ternyata kualitas universitas Malaysia sangat terkait dengan information literate. Pemerintah Malaysia punya program sejak tahun 1996 yaitu tahun 2020 semua warga Malaysia sudah melek informasi dan telah memiliki sarana lengkap menjadi pekerja bermodal pengetahuan. Para guru dan murid dilatih mengakses, memanfaatkan dan mengembangkan informasi dari buku, kamus, ensiklopedia atau internet agar menjadi kreatif dan inovatif.

Literasi dunia hukum
Sebagai institusi, bangsa dan pribadi kita perlu memenangi literasi. Kita tidak cukup dengan hanya menjadi penikmat informasi dan pengetahuan tapi juga sebagai pelaku, penguasa dan produsen ilmu pengetahuan. Tanpa adanya kemampuan literasi yang memadai pengembangan ilmu hukum kita kemungkinan akan macet.

Saya sendiri menulis Catatan Seorang Hakim berangkat dari pergumulan pemikiran, kegelisahan, dan hasil interaksi dari banyak orang sampai pada serpihan-serpihan cerita dan pikiran yang tersebar dari berbagai referensi. Materi buku itu terdiri dari tiga bagian: Catatan tentang manusia, Catatan tentang Hukum, dan Catatan tentang Idealisme. Pemetaan atau pemilahan itu disesuaikan dengan tema dan substansi tiap bagian tetapi merupakan satu kesatuan yang saling berhubungan. Teori-teori dan gagasan yang dihadirkan dalam buku itu hanyalah memberi penguatan atau penegasan bagaimana hukum dan kehidupan sosial bekerja dan merefleksi dalam kehidupan sosial.
Dua bagian pertama memperlihatkan adanya problem kompleksitas yang dalam kajian filsafat hukum disebut Chaos. Chaos adalah alternatif bagi positivisme hukum. Chaos memberi tawaran, bukan lagi semata-mata kepastian hukum yang hendak dicapai tetapi keadilan yang lebih luas dan terbuka yang dihasilkan dari ketidakpastian makna teks dan realitas sosial yang tidak beraturan (disorder).

Perkembangan pemikiran dibidang filsafat hukum semakin meneguhkan asumsi bahwa masyarakat tidak hanya dijaga oleh hukum dan keteraturan (order) tapi juga ketidakaturan (disorder). Para pembuat hukum mencoba memelihara dan menjaga keteraturan akan tetapi patut disadari bahwa masyarakat tidak hanya diatur dan dijaga oleh hukum tapi juga oleh tatanan sosial dan kearifan lokal. Dengan demikian hukum sudah saatnya tidak lagi terpaku pada makna yang mapan sebagaimana pandangan Jacques Derrida seorang post-strukturalis..
Di dalam chaos terkandung pluralitas, transformasi, mutasi, perbedaan dan keanekaragaman, diversitas, dan multiplisitas. Kondisi chaos bukan untuk dihindari atau dilawan tetapi dimaknai sebagai satu kemungkinan yang dapat dikembangkan. Kondisi sosial masyarakat dalam memahami dan berhukum yang tergambar dalam serpihan-serpihan tulisan buku ini kemungkinan memperkuat dugaan-dugaan terbuktinya chaos dalam masyarakat.
Dengan membaca dan menulis kondisi dan budaya hukum masyarakat setidaknya dapat diungkapkan. Walaupun menjadi penulis, kata Milan Kundera bukanlah untuk mengkhutbahkan kebenaran namun untuk menggali dan menemukan kebenaran kendati hanya seserpih. Setidak-tidaknya kata William Feather buku akan meluaskan jiwamu lebih dari orang lain mampu melakukannya.

Humas PN Surabaya